Kasus Predator Seks di Bandung Tak Dirilis sejak Mei 2021, Pakar Hukum Unpar Nilai Sudah Tepat
INFO POLISI – Pakar Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf menilai, langkah pemerintah daerah dan penegak hukum melindungi korban kasus asusila, yang diduga dilakukan Herry Wirawan kepada sejumlah anak di Bandung, Jawa Barat, sudah tepat.
Kasus predator seks itu diusut sejak Mei 2021, tapi baru terangkat ke media Desember 2021. Di sisi lain proses peradilan tetap berjalan.
“Masyarakat jangan sampai salah mengerti saat kasus ini baru dipublikasikan Desember, padahal sudah diketahui sejak Mei. Sebab, katanya, tidak dipublikasikan bukan berarti tidak diproses hukum. Hal ini pun bertujuan melindungi para korban, terutama psikologisnya,”ujar Asep dihubungi awak media, Selasa, 14 Desember 2021.
Tidak sekedar melindungi korban predator seks, katanya, keputusan untuk memproses kasus tanpa publikasi terlebih dulu pun, untuk menjaga keberlangsungan persidangan.
Sebab, katanya, dalam kasus asusila, para korban harus menjadi saksi dalam persidangan.
Menurut dia, ada etika dalam hukum acara kejahatan kesusilaan. Satu di antaranya memang tidak diekspos. Bahkan untuk beberapa kasus, pelakunya pun tidak diekspos.
“Karena pada saat ia dihadapkan di pengadilan, saksi itu juga kan harus datang. Untuk menjadi saksi dalam kasus ini kan tidak mudah karena harus melihat pelakunya,” kata Asep.
Kelancaran persidangan predator seks, katanya, ditentukan oleh saksi yang mau menyatakan kejadian yang sebenarnya dengan jelas.
Maka saat bersaksi pun, jangan sampai kondisi psikologis korban terganggu. Bahkan korban harus didampingi psikolog, didampingi ahli kesehatan, dan didampingi orang terdekat korban.
Apalagi dalam kasus ini, katanya, para korbannya adalah anak-anak.
“Semua pihak harus memulihkan psikologis para korban supaya siap menjadi saksi di pengadilan. Dengan adanya kasus ini terekspos kepada publik, bahkan dicongkel berbagai informasinya mengenai korban, akan mempengaruhi kondisi para korban yang akan menjadi saksi tersebut,” tuturnya.
“Makanya kami mengerti kalau diam-diam dulu, supaya proses-proses yang dijalankan oleh hakim dan pengadilan berjalan lancar dan saksinya mau bicara tanpa gangguan. Kalau sudah diputus, silakan,” katanya melanjutkan.
Berdasarkan penelusurannya, lanjut Asep, para korban Herry Wirawan kembali mengalami trauma setelah kasus ini terekspos ke publik. Mereka, katanya, membaca berbagai berita di media, termasuk pembicaraan di media sosial.
“Kalau perspektif kesusilaan, melihat korban, maka kewajiban negara, kewajiban pemerintah, kewajiban penegak hukum, adalah melindungi korban. Itu harus dijalankan. Makanya pihak pemerintah dan penegak hukum itu memastikan bahwa korban mendapat perlindungan dan hak-haknya,” ujar Asep.
Ia mengatakan, korban harus merasa aman dan nyaman. Oleh karena itu, harus dipastikan korban dilindungi dari publisitas, dari pengungkapan ke publik, dan wajib dilindungi. Hal ini dilakukan sambil para korban dilindungi dan dipulihkan mental psikologis serta traumanya.
“Jadi bukan tidak mau diekspos, tapi problemanya adalah ketika ini terekspos keluar bahkan disebutkan siapa korbannya, itu akan menjadi pelanggaran terhadap hak-hak korban,” katanya.
Adapun jika publik itu menyoroti pelakunya, hal ini diperbolehkan. Asalkan, katanya, jangan sampai mengorek informasi mengenai korban. Karena hal ini tertera dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
“Saya mengobrol dengan teman-teman di Garut dengan dinas-dinas yang menangani perlindungan anak. Mereka sebetulnya bukan menutupi perbuatan jahat, tapi ini hanya untuk sebatas melindungi korbannya. Yang sudah ada trauma healing berkali-kali dengan anaknya keluarganya, ketika ini terekspos lagi, jadi lagi traumanya,” katanya.
Ia pun mencermati hal-hal janggal dalam berbagai informasi kasus tersebut. Yang selama ini dikabarkan adalah pencabulan yang dilakukan oleh guru agama kepada santriwatinya. Namun ternyata, tidak ditemukan kegiatan pendidikan atau keagamaan di tempat-tempat tersebut.
“Ini bukan pesantren, mereka bukan santriwati. Mereka anak-anak dijemput, diiming-imingi, dan tidak ada pengajian atau pendidikan di situ. Salat saja tidak diajarkan. Ini memang penculikan saja dari keluarganya untuk dieksploitasi sama dia,” katanya.
Ia meminta semua pihak untuk betul-betul menjaga para korban, bukan malah mengeksploitasi para korban untuk berbagai kepentingan. Hal ini, katanya, malah akan merugikan para korban yang sudah cukup menderita akibat Herry Wirawan.*
Tinggalkan Balasan