Sidang Lanjutan Sengketa Pilwabup Bekasi, Saksi Kemendagri Akui Ada Kecacatan Prosedural
INFO POLISI – Saksi ahli dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui Pemilihan Wakil Bupati (Pilwabup) Bekasi cacat prosedur.
Hal itu disampaikan dalam sidang lanjutan sengketa Pilwabup Bekasi di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Sesuai dengan agenda sidang yakni kesaksian ahli, Kemendagri selaku tergugat menghadirkan pakar hukum tata negara Universitas Islam Jakarta yakni Teuku Saiful Bahri Johan. Namun, dalam penjelasannya, Teuku mengakui adanya pelanggaran prosedural pada Pilwabup Bekasi.
”Ada beberapa pelanggaran,” kata Dosen Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum UIJ, Rabu, 5 April 2022.
Menurut dia, pilwabup dapat dilaksanakan oleh panitia pemilihan yang berasal dari DPRD. Akan tetapi, pemilihan ini harus didasari atas pengajuan partai politik yang disampaikan oleh kepala daerah.
Namun, prosedur itu dilewatkan oleh panitia pemilihan sehingga Pilwabup Bekasi disebut melanggar prosedur.
”Harus diusulkan dua calon ke DPRD, harusnya mekanismenya seperti itu, wajib diklarifikasi oleh DPRD. Saya melihat prosedural dilewatkan,” kata dia.
Kesaksian ini turut menguatkan gugatan yang disampaikan oleh bakal calon wakil bupati, Tuti Nurcholifah Yasin.
Seperti diketahui, Tuti menggugat SK Mendagri nomor 132.32-4881 tahun 2021 tentang Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi tertanggal 19 Oktober 2021. SK itu digugat karena dinilai Pilwabup Bekasi cacat hukum.
Kendati membenarkan adanya pelanggaran prosedur, Teuku menilai pelanggaran tersebut bukan norma hukum.
“Pelanggaran ini bukan norma hukum tapi norma etika. Tapi produknya tetap sah, meskipun tidak melewati mekanisme yang benar,” ucapnya.
Sementara kuasa hukum penggugat Bonar Sibuea meyakini keterangan yang disampaikan saksi ahli dari pihak tergugat membuktikan adanya pelanggaran prosedural pada proses Pilwabup Bekasi yang dilakukan DPRD.
“Normatifnya tentu karna dia (ahli) diajukan oleh tergugat, tentu ada beberapa bagian yang kemudian dia mendukung tergugat. Sebaliknya dari penggugat kami juga mendapatkan beberapa hal contohnya, tidak hadirnya penggugat (Tuti Nurcholifah Yasin) ketika deklarasi visi dan misi, dan itu di akui saksi ahli menjadi tidak sah produknya, kemudian tidak ada dokumen yang di lampirkan. Hal-hal seperti itu membuktikan memang terjadi pelanggaran,” tuturnya menanggapi keterangan ahli dari pihak tergugat.
Bonar menegaskan materi gugatan yang dilakukan pihaknya ialah terkait pelanggaran prosedur pada proses Pilwabup yang dilaksanakan DPRD Kabupaten Bekasi.
“Ini kan ada dua undang-undang pasal 176 yang kita uji dan Peraturan DPRD no 02 tahun 2019. Di mana ditanyakan apabila salah satu calon tidak menyerahkan persyaratan dan tidak menyampaikan visi misi pada saat paripurna apakah sah atau tidak? Lalu dijawab tidak sah. Sehingga dalam hal ini kami meyakini proses pilwabup yang digelar Panlih DPRD Kabupaten Bekasi tidak sesuai prosedural,” ucap Bonar.
Seperti diketahui, pendaftaran gugatan ke PTUN menjadi babak baru dalam polemik berkelanjutan pengangkatan wakil bupati. Sejak posisi orang nomor dua di Kabupaten Bekasi kosong, gonjang-ganjing pengangkatan wakil bupati ini terus berlanjut.
Pro kontra pun terus berlanjut tatkala pemilihan wakil bupati yang dilakukan DPRD Kabupaten Bekasi dinilai tidak sesuai aturan. Pengusulan nama Akhmad Marjuki dinilai cacat prosedur. Bahkan Mendagri Tito Karnavian pun mengamini itu.
Belakangan, ada inkonsistensi yang ditunjukkan Mendagri beserta jajarannya. Kemendagri yang semula menyebut pemilihan wabup tidak sesuai aturan, justru berbalik sikap dengan menerbitkan SK Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi tertanggal 19 Oktober 2021 itu.
Perubahan sikap ini yang menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak hingga berujung pada gugatan di PTUN Jakarta.
Pengamat Politik Universitas Islam 45 Bekasi, Harun Alrasyid mengatakan, langkah mengajukan gugatan merupakan upaya yang positif. Upaya hukum merupakan hak setiap orang untuk mempertanyakan hal yang dianggapnya tidak sesuai.
“Apa yang dilakukan Bu Tuti mekanismenya memang sudah diatur dalam hukum kita. Kalau dinilai ada yang tidak sesuai secara hukum lebih baik diajukan ke pengadilan. Karena jika dibawa ke ranah politik tidak menyelesaikan masalah, justru malah menambah masalah, jadi lebih baik ke jalur hukum,” kata dia.(*)
Tinggalkan Balasan