INFOPOLISI.NET | BANDUNG – Persidangan perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait sengketa aset di Jalan Pelajar Pejuang No.110, Kota Bandung, kembali digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (14/10/2025).
Sidang yang kini memasuki tahap pembuktian ini menjadi sorotan publik lantaran menyangkut dugaan penyalahgunaan aset pribadi sebagai jaminan utang perusahaan.
Dalam perkara yang ditangani oleh Royal Law Office selaku kuasa hukum penggugat ini, terdapat 9 pihak tergugat, terdiri dari 5 tergugat utama dan 4 turut tergugat. Di antaranya:
1. Irma Herlina (Tergugat I)
2. PT Bank Sahabat Sampoerna (Tergugat II)
3. Hj. Euis Masitoh (Tergugat III)
4. KSP Artha Mas Makmur Sejahtera (Tergugat IV)
5. PT Makmur Capital Investama (Tergugat V)
6. Notaris & PPAT Dr. Yenny Yunithawati Rukmana (Turut Tergugat I)
7. Notaris & PPAT Iswan Bangsawan, S.H. (Turut Tergugat II)
8. KPKNL Kanwil DJKN Jawa Barat, Kemenkeu RI (Turut Tergugat III)
9. Kantor Pertanahan Kota Bandung, Kementerian ATR/BPN (Turut Tergugat IV).

Namun, dari sembilan pihak tersebut, hanya empat pihak yang hadir dalam sidang kali ini, yaitu Tergugat II, Tergugat V, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat III.
Kuasa hukum penggugat menilai ketidakhadiran beberapa tergugat menunjukkan indikasi ketidakyakinan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
“Biasanya orang yang tidak mau hadir dalam persidangan itu karena ada sesuatu yang disembunyikan. Dugaan kami, mereka takut tindakan-tindakan dalam kontrak terbuka dan terbukti sebagai pelanggaran administrasi,” ujar kuasa hukum penggugat usai sidang.
Bukti Baru: Surat Pengunduran Diri Kuasa dan Akta Harta Bersama
Dalam tahap pembuktian, penggugat mengajukan dua bukti tambahan penting.
Pertama, surat pengunduran diri kuasa hukum dari salah satu tergugat sebelumnya. Bukti ini dianggap krusial untuk menepis tudingan adanya “double kuasa” antara pihak tergugat dan penggugat.
“Saya sudah mengundurkan diri secara resmi dari kuasa tergugat sejak lama. Jadi posisi saya mewakili penggugat sah secara hukum,” jelas Adv. Alex Aritonang, S.H., M.H didampingi Adv. Bambang Irawan, S.H., C.SAP., C.SN., CAIC., CLA.
Kedua, surat keterangan/pemberitaan dari Notaris Yanti terkait Akta Pembagian Harta Bersama (APHB). Dokumen ini menegaskan bahwa objek tanah dan bangunan yang disengketakan merupakan hasil pembelian pribadi Hj. Euis Masitoh menggunakan dana keluarga tabungan almarhum suaminya, bukan harta warisan. Itu membuktikan bahwa Hj. Euis Masitoh telah membeli dan membayar lunas apa yang menjadi hak dari kakak maupun adik Hj. Euis Masitoh terkait objek tersebut.
“Artinya, harta ini milik bersama anak-anak Hj. Euis, sehingga mereka memiliki hak atas objek tersebut,” tambahnya.
Dugaan Pelanggaran Pasal KUHPerdata: Aset Pribadi untuk Utang Perusahaan
Adv. Bambang Irawan, S.H., C.SAP., C.SN., CAIC., CLA., selaku Kuasa hukum juga mengungkapkan kejanggalan serius dalam perjanjian kredit yang menjadi dasar pembebanan jaminan.
Menurutnya, debitur dalam kontrak kredit adalah perusahaan (PT), bukan individu, namun aset pribadi dijadikan jaminan tanpa persetujuan pemilik sah.
Hal ini dianggap melanggar Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian — di mana harus ada kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum.
Selain itu, penggunaan jaminan pribadi tanpa izin juga dapat melanggar Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”
“Ini cacat hukum yang jelas. Bagaimana mungkin aset pribadi dijaminkan untuk utang perusahaan tanpa izin dari pemilik sahnya yaitu 4 orang diantaranya 1 orang ibu dan 3 orang anak? Ini harus dibuka seterang-terangnya di persidangan,” tegas Bambang.
Aspek Notaris dan Tanggung Jawab Jabatan
Tak hanya soal aset, perkara ini juga menyeret dua notaris sebagai turut tergugat. Keduanya diduga menerbitkan akta yang cacat hukum, melanggar ketentuan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b UUJN mewajibkan notaris untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan para pihak. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat berujung sanksi administratif hingga pidana apabila terbukti menimbulkan kerugian hukum.
Agenda Selanjutnya: Pemeriksaan Saksi
Majelis hakim kemudian menunda sidang dan menjadwalkan lanjutan pada Selasa, 21 Oktober 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak penggugat.
“Kami akan menghadirkan tiga saksi utama yang mengetahui langsung duduk perkara ini,” ujar kuasa hukum.
Masih ditempat yang sama, Kuasa hukum Adv. Alex Aritonang, S.H., M.H. turut mengapresiasi perubahan positif dalam proses persidangan.
“Semenjak pergantian Ketua Majelis, sidang menjadi lebih transparan, objektif, dan netral. Semoga majelis hakim selalu diberikan kesehatan dan kelancaran dalam menegakkan keadilan,” ujarnya.
Usai sidang, awak media mencoba mengonfirmasi pihak tergugat I, tergugat V, serta turut tergugat I dan III, namun hingga berita ini diterbitkan, mereka enggan memberikan keterangan.
Perlunya Ketegasan Penegakan Hukum Perdata
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya integritas dalam proses kredit, kehati-hatian notaris, serta perlindungan hukum atas hak kepemilikan pribadi. Sengketa aset semacam ini bukan hanya menyangkut nominal ekonomi, tetapi juga fondasi kepastian hukum dan moralitas administrasi publik.
Jika terbukti benar adanya pelanggaran perdata dan administratif, perkara ini berpotensi menjadi preseden penting bagi praktik perbankan dan notariat di Indonesia. (Mustopa)









